Kamis, 22 Mei 2014

RUU ITE & UU RI No.19 (Hak Cipta)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2002
TENTANG
HAK CIPTA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang:
a. bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman etnik/suku bangsa dan budaya serta kekayaan di bidang seni dan sastra dengan pengembangan-pengembangannya yang memerlukan perlindungan Hak Cipta terhadap kekayaan intelektual yang lahir dari keanekaragaman tersebut;
b. bahwa Indonesia telah menjadi anggota berbagai konvensi/perjanjian internasional di bidang hak kekayaan intelektual pada umumnya dan Hak Cipta pada khususnya yang memerlukan pengejawantahan lebih lanjut dalam sistem hukum nasionalnya;
c. bahwa perkembangan di bidang perdagangan, industri, dan investasi telah sedemikian pesat sehingga memerlukan peningkatan perlindungan bagi Pencipta dan Pemilik Hak Terkait dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat luas;
d. bahwa dengan memperhatikan pengalaman dalam melaksanakan Undang-undang Hak Cipta yang ada, dipandang perlu untuk menetapkan Undang-undang Hak Cipta yang baru menggantikan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 dan terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan seb agaimana tersebut dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, dibutuhkan Undang-undang tentang Hak Cipta.

Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 28 C ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564).

Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:


Menetapkan:   UNDANG-UNDANG TENTANG HAK CIPTA.

Pertukaran informasi yang begitu cepat bahkan bersifat realtime dan online juga dimanfaatkan oleh pihak – pihak yang ingin mengambil keuntungan dengan cara memplagiat informasi tersebut atau bahkan mengakui informasi tersebut meskipun nyata – nyata informasi tersebut bukan berasal darinya. Indonesia sebagai Negara yang terus berkembang dalam segala bidang termasuk bidang teknologi informasi mengatur secara tegas tentang originalitas dan keaslian dari informasi yang bertebaran di dunia informasi.
Salah satu tindakan tegas yang dimiliki bangsa Indonesia untuk menangani permasalahan tesebut ialah dengan mengeluarkan UNDANG-UNDANG NO.19 Tentang Hak Cipta. Dengan adanya hak cipta untuk produk TI, apabila terjadi pembajakan terhadap produk tersebut maka pelakunya dapat dituntut secara hukum dan dikenakan sanksi yang berat. Maka, para perusahaan pun berlomba-lomba mematenkan produknya tidak peduli betapa mahal dan sulitnya proses pengeluaran hak paten tersebut.
Hak cipta itu sendiri ialah hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya, hak cipta merupakan "hak untuk menyalin suatu ciptaan". Hak cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas.
Hak cipta merupakan salah satu jenis hak kekayaan intelektual, namun hak cipta berbeda secara mencolok dari hak kekayaan intelektual lainnya (seperti paten, yang memberikan hak monopoli atas penggunaan invensi), karena hak cipta bukan merupakan hak monopoli untuk melakukan sesuatu, melainkan hak untuk mencegah orang lain yang melakukannya. Dan untuk hak cipta sendiri di Indonesia diatur dalam UU no. 19 dan dibagi dalam dua ketentuan yaitu Hak Cipta terdiri atas hak ekonomi (economic rights) dan hak moral (moral rights). Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan serta produk Hak Terkait. Hak moral adalah hak yang melekat pada diri Pencipta atau Pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apa pun, walaupun Hak Cipta atau Hak Terkait telah dialihkan.

Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik memuat beberapa hal yakni: masalah yurisdiksi, perlindungan hak pribadi, azas perdagangan secara e-commerce, azas persaingan usaha usaha tidak sehat dan perlindungan konsumen, azas-azas hak atas kekayaan intelektual (HaKI) dan Hukum Internasional serta azas Cybercrime.

Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik telah di susun sejak tahun 2001. Penyusunan materi UU ITE tidak terlepas dari dua naskah akademis yang disusun oleh dua institusi pendidikan yakni Unpad dan UI. Tim Unpad ditunjuk oleh Departemen Komunikasi dan Informasi sedangkan Tim UI oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Pada penyusunannya, Tim Unpad bekerjasama dengan para pakar di ITB yang kemudian menamai naskah akademisnya dengan RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI). Sedangkan tim UI menamai naskah akademisnya dengan RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik.

Kedua naskah akademis tersebut pada akhirnya digabung dan disesuaikan kembali oleh tim yang dipimpin Prof. Ahmad M Ramli SH (atas nama pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono), sehingga namanya menjadi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana disahkan oleh DPR. Pada tanggal 25 Maret 2008 pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) telah mengesahkan undang–undang baru tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Undang-Undang ITE

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UU ITE ini juga diatur berbagai ancaman hukuman bagi kejahatan melalui internet. UU ITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat pada umumnya guna mendapatkan kepastian hukum, dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan digital sebagai bukti yang sah di pengadilan.
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.

Secara umum, materi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik dan pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang. Pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik mengacu pada beberapa instrumen internasional, seperti UNCITRAL Model Law on eCommerce dan UNCITRAL Model Law on eSignature. Bagian ini dimaksudkan untuk mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat umumnya guna mendapatkan kepastian hukum dalam melakukan transaksi elektronik. Beberapa materi yang diatur, antara lain:
pengakuan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah (Pasal 5 & Pasal 6 UU ITE);
tanda tangan elektronik (Pasal 11 & Pasal 12 UU ITE);
penyelenggaraan sertifikasi elektronik (certification authority, Pasal 13 & Pasal 14 UU ITE); dan
penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 15 & Pasal 16 UU ITE);

Beberapa materi perbuatan yang dilarang (cybercrimes) yang diatur dalam UU ITE, antara lain:
konten ilegal, yang terdiri dari, antara lain: kesusilaan, perjudian, penghinaan/pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan (Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE);
akses ilegal (Pasal 30);
intersepsi ilegal (Pasal 31);
gangguan terhadap data (data interference, Pasal 32 UU ITE);
gangguan terhadap sistem (system interference, Pasal 33 UU ITE);
penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse of device, Pasal 34 UU ITE);

UU ITE terdiri dari 13 Bab dan 54 Pasal yang mengupas secara mendetail bagaimana aturan hidup di dunia maya dan transaksi yang terjadi didalamnya. Bagian-bagian UU ITE :
Bab 1 : Ketentuan Umum (Pasal 1)
Bab 2 : Asas & Tujuan (Pasal 2 – Pasal 3)
Bab 3 : Informasi Elektronik (Pasal 4 – Pasal 16)
Bab 4 : Penyelenggaraan Sistem Elektronik (Pasal 12 – Pasal 18)
Bab 5 : Transaksi Elektronik (Pasal 19 – Pasal 25)
Bab 6 : Nama Domain, Hak Kekayaan Intelektual & Perlindungan Hak Pribadi (Pasal 26 – Pasal 28)
Bab 7 : Pemanfaatan Teknologi Informasi  Perlindungan Sistem Elektronik (Pasal 29 – Pasal 36)
Bab 8 : Penyelesaian Sengketa (Pasal 37 – Pasal 42)
Bab 9 : Peran Pemerintah & Masyarakat (Pasal 43 – Pasal 44)
Bab 10 : Yurisdiksi (Pasal 45 – Pasal 46)
Bab 11 : Penyidikan (Pasal 47)
Bab 12 : Ketentuan Pidana (Pasal 48 – Pasal 52)
Bab 13 : Ketentuan Peralihan (Pasal 53)
Bab 14 : Ketentuan Penutup (Pasal 54)

Tujuan UU ITE

Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari MID (Masyarakat Informasi Dunia)
Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik.
Membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan TI seoptimal mungkin dan bertanggung jawab.
Memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara TI.

Contoh Kasus Pelanggaran UU ITE

Seperti yang kita ketahui, kasus Prita Mulyasari merupakan kasus pelanggaran terhadap UU ITE yang mengemparkan Indonesia. Nyaris berbulan-bulan kasus ini mendapat sorotan masyarakat lewat media elektronik, media cetak dan jaringan sosial seperti facebook dan twitter.

Prita Mulyasari adalah seorang ibu rumah tangga, mantan pasien Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutra Tangerang. Saat dirawat di Rumah Sakit tersebut Prita tidak mendapat kesembuhan namun penyakitnya malah bertambah parah. Pihak rumah sakit tidak memberikan keterangan yang pasti mengenai penyakit Prita, serta pihak Rumah Sakitpun tidak memberikan rekam medis yang diperlukan oleh Prita. Kemudian Prita Mulyasari mengeluhkan pelayanan rumah sakit tersebut melalui surat elektronik yang kemudian menyebar ke berbagai mailing list di dunia maya. Akibatnya, pihak Rumah Sakit Omni Internasional marah, dan merasa dicemarkan.

Lalu RS Omni International mengadukan Prita Mulyasari secara pidana. Sebelumnya Prita Mulyasari sudah diputus bersalah dalam pengadilan perdata. Dan waktu itupun Prita sempat ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang sejak 13 Mei 2009 karena dijerat pasal pencemaran nama baik dengan menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Kasus ini kemudian banyak menyedot perhatian publik yang berimbas dengan munculnya gerakan solidaritas “Koin Kepedulian untuk Prita”. Pada tanggal 29 Desember 2009, Ibu Prita Mulyasari divonis Bebas oleh Pengadilan Negeri Tangerang.

Contoh kasus di atas merupakan contoh kasus mengenai pelanggaran Undang-Undang Nomor 11 pasal 27 ayat 3 tahun 2008 tentang UU ITE. Dalam pasal tersebut tertuliskan bahwa: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan /atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik.

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UUITE ini juga diatur berbagai ancaman hukuman bagi kejahatan melalui internet. UUITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat pada umumnya guna mendapatkan kepastian hukum, dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan digital sebagai bukti yang sah di pengadilan.


SUMBER :


READ MORE RUU ITE & UU RI No.19 (Hak Cipta)